TUGAS 45
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya
atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa
Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan
pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik berarti
ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang
lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat,
keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun
bekerja dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian
sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa
berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang
dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar
tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang
tidak menggunakan kekerasan (non-violent). Gambar 6.1 menjelaskan
tentang perilaku manusia yang muncul akibat dari perbedaan pendapat.
Demonstrasi yang dilakukan untuk menentang kebijakan negara adalah salah
satu bentuk perbedaan pendapat dan kepentingan antara kelompok
masyarakat dengan negara atau dengan kelompok lainnya. Fenomena ini
termasuk dalam kategori konflik, walaupun tidak mengarah kepada
pertentangan fisik. Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang
mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi
secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu
yang diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa
dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah satu pihak tidak memahami
adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins, 1996). Tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bisa terjadi karena hubungan
antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau
merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan (Fisher, dalam Saputro,
2003). Sedangkan White & Bednar (1991) mendefinisikan konflik
sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau kelompok yang saling
bergantung merasakan adanya tujuan yang saling bertentangan dan saling
mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan itu. Jika tindakan
seseorang individu untuk memenuhi dan memaksimal kan kebutuhannya
menghalangi atau membuat tindakan orang lain jadi tidak efektif untuk
memenuhi dan memaksimalkan kebutuhan orang tersebut, maka terjadilah
konflik kepentingan (conflict of interest) (Deustch dalam Johnson &
Johnson, 1991). Cassel Concise dalam Lacey (2003) mengemukakan bahwa
konflik sebagai “a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition
of interest, opinion or purposes; mental strife, agony”. Pengertian
tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik adalah suatu pertarungan,
suatu benturan; suatu pergulatan; pertentangan kepentingan, opini-opini
atau tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin. Konflik adalah
suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang
terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan apa yang
diharapkan (Mangkunegara, 2001). Konflik juga merupakan perselisihan
atau perjuangan di antara dua pihak (two parties)yang ditandai dengan
menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja
pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya (Wexley &Yukl, 1988).
Gambar 6.2 di bawah ini adalah salah satu contoh konflik yang sesuai
dengan pendapat di atas, yaitu ketika apa yang diharapkan oleh suporter
persebaya agar kesebelasan kesayangannya menang tidak terwujud,
akibatnya dia melakukan berbagai tindakan penyerangan kepada siapa saja,
termasuk kepada aparat keamanan.
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu
bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara
pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga
dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka
saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan
Supriyanto, 2003). Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai
konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu
pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan
dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling
tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing
actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif
untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi
pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas,
karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan
dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam
pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001). Konflik dalam pengertian yang
luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang
bersifat berlawanan (antagonistik) (Indrawijaya, 1986). Konflik adalah
relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan
yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan
struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu
interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak
jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak
langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo
dan Supriyanto, 2003). Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi
atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai macam
perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan
perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003). Hocker &
Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik
sebagai “an expressed struggle betwen at least two interdependent
parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards, and interference
from the other parties in achieving their goals”. Seseorang dikatakan
terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah ketidaksepakatan muncul
antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya ketidaksepakatan
itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan ketidaksetujuan, sedang yang
lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak. Dengan
kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka
berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai
pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan
pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri
secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya
merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang
besar. Konflik muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya.
Misalnya, jika dua orang duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu
menjadi sumberdaya. Apabila salah satu pihak bertingkah laku seakanakan
mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu maka terjadilah konflik
diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik saling tergantung
satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku pihak
lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah,
maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak
terselesaikan karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling
ketergantungan. Selama ini konflik sering dihubungkan dengan agresi.
Broadman & Horowitz (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) menyatakan bahwa
konflik dan agresi merupakan dua hal yang berbeda. Konflik tidak selalu
menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi
pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak
yang merugikan bagi individu. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa konflik adalah suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk perlawanan
halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk
perlawanan terbuka antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung
satu sama lain yang sama-sama merasakan tujuan yang saling tidak cocok,
kelangkaan sumber daya dan hambatan yang didapat dari pihak lain dalam
mencapai tujuannya. Tawuran antar pelajar (Gambar 6.3) adalah salah satu
contoh konflik yang sering terjadi di kalangan pelajar.
Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena
itu tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956)
menyatakan: konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah
proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda
merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti
(Poloma, 1994). Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka
dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak
dapat ditawar. Dahrendorf (1986), membuat 4 postulat yang menunjukkan
keniscayaan itu, yaitu: (1) setiap masyarakat tunduk pada proses
perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana; (2) setiap masyarakat
memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana;
(3) setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap
desintegrasi dan perubahan; (4) setiap masyarakat dicirikan oleh adanya
penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya. Coser
(1956) mengutip hasil pengamatan Simmel, menunjukkan bahwa konflik
mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Coser
menyatakan bahwa masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar
membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan membahayakan
konsensus dasar kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan
membiarkan konflik itu berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak
mendasar (Poloma, 1994). Dengan demikian berarti, konflik yang
menyentuh nilai-nilai inti akan dapat mengubah struktur sosial sedangkan
konflik yang mempertentangkan nilai-nilai yang berada di daerah
pinggiran tidak akan sampai menimbulkan perpecahan yang dapat
membahayakan struktur sosial. Cobb dan Elder (1972) mengungkapkan adanya
tiga dimensi penting dalam konflik politik: (1) luas konflik; (2)
intensitas konflik; dan (3) ketampakan konflik. Luas konflik, menunjuk
pada jumlah perorangan atau kelompok yang terlibat dalam konflik, dan
menunjuk pula pada skala konflik yang terjadi (misalnya: konflik lokal,
konflik etnis, konflik nasional, konflik internasional, konflik agama
dan sebagainya). Intensitas konflik adalah luas-sempitnya komitmen
sosial yang bisa terbangun akibat sebuah konflik. Konflik yang
intensitasnya tinggi adalah konflik yang bisa membangun komitmen sosial
yang luas, sehingga luas konflikpun mengembang. Adapun ketampakan
konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat di luar
pihak-pihak yang berkonflik tentang peristiwa konflik yang terjadi.
Sebuah konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala
peristiwa konflik itu disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh
masyarakat secara luas. Sebaliknya, sebuah konflik memiliki ketampakan
rendah manakala konflik itu terselimuti oleh berbagai hal sehingga
tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat luas terhadap konflik itu
sangat terbatas. Pandangan tradisional tentang konflik mengandaikan
konflik itu buruk, dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan
istilah kekerasan (violence), destruksi, dan ketidakrasionalan demi
memperkuat konotasi negatifnya. Konflik adalah merugikan, oleh karena
itu harus dihindari (Robbins, 1996). Pandangan pada masa kini melihat
konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam kehidupan kelompok dan
organisasi. Dalam interaksi antara manusia, konflik tidak dapat
disingkirkan, tidak terelakkan, bahkan ada kalanya konflik dapat
bermanfaat pada kinerja kelompok. Berdasarkan pendekatan interaksionis
memandang konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang,
damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, kaum
interaksionis mendorong pemimpin suatu kelompok apapun untuk
mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik,
sehingga cukup untuk membuat kelompok itu hidup, kritis-diri dan
kreatif. Perlu ditegaskan, bahwa pendekatan interaksionis tersebut tidak
berarti memandangan semua konflik adalah suatu hal yang baik, tetap
memandang konflik adalah suatu hal yang tidak baik. Kaum interaksional
memandang ada konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki
kinerja kelompok, biasa disebut dengan konflik fungsional, sedangkan ada
konflik yang menghalangi kinerja kelompok atau yang disebut dengan
konflik disfungsional atau destruktif.
B. SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik yang terjadi pada
manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber
konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk
dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi
pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik,
demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa
menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber
konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh
karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber
konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada
hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik
kepentingan sebagai berikut: (1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan,
(2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu,
uang, popularitas dan posisi, dan (3) persaingan. Ketika kebutuhan,
nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya
menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta
hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul (Johnson &
Johnson, 1991). Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik
dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang
dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui
kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka
dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat
menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan
sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan
salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau
masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang
dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang
yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang
lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain
dianggap merugikan.
Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007)
mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya,
pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi.
Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain: (1) ciri umum dari
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (2) hubungan pihak-pihak yang
mengalami konflik sebelum terjadi konflik; (3) sifat masalah yang
menimbulkan konflik; (4) lingkungan sosial tempat konflik terjadi; (5)
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (6) strategi yang
biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik; (7) konsekuensi
konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain;
dan (8) tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam
kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions)
yang menjadi penyebab konflik, yaitu: (1) persaingan terhadap
sumber-sumber (competition for resources), (2) ketergantungan pekerjaan
(task interdependence), (3) kekaburan bidang tugas (jurisdictional
ambiguity), (4) problem status (status problem), (5) rintangan
komunikasi (communication barriers), dan (6) sifat-sifat individu
(individual traits) (Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley &
Yukl, 1988).
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999)
mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1)
adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan
kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan
(4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Sedangkan Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
2.
Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan
kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan,
persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau
saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja
untuk mencapai tujuan mereka.
3. Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka,
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik
dalam organisasi adalah: (1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan, (2)
ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, (3) tugas yang tidak jelas
(tidak ada diskripsi jabatan), (4) perbedaan dalam orientasi kerja, (5)
perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, (6) perbedaan persepsi, (7)
sistem kompetensi intensif (reward), dan (8) strategi permotivasian yang
tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa
sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari
dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan
serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya
adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya
yang ada.
1. Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu
Perbedaan
kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya
konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah
perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang
unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan
sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab
konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas
musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula
yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang
berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang
berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang
dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam
hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai
kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga
harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon
karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau
ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan
bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan
konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini
dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang
terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh
menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang
serta volume usaha mereka.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang
mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik
sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat
industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan
berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan
menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai
tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah
ada.
C. BENTUK KONFLIK SOSIAL
Sasse (1981) mengajukan
istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara
orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini
memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan
menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik
dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa
konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri
seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar
negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan
istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada
berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999)
mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi
empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik
nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap
individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik
kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau
kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak
dan kebijakan lainnya.
Gambar 6.4 adalah contoh yang menunjukkan ragam dan bentuk konflik
yang terjadi di masyarakat. Dipandang dari akibat maupun cara
penyelesaiannya, Furman & McQuaid (dalam Farida, 1996) membedakan
konflik dalam dua tipe yang berbeda, yaitu konflik destruktif dan
konstruktif.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1.
Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar
kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem
tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif
terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan
individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik
diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan
terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu
konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik
yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses
pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir
dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam
konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang
terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi konflik
menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik
antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu
dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5)
konflik antar organisasi.
Berbeda dengan pendapat
diatas Mulyasa (2003) membagi konflik berdasarkan tingkatannya menjadi
enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2) konflik interpersonal, (3)
konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik intraorganisasi,
dan (6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik
dibedakan menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial
(intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau
profesi (konflik peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok
sosial (antar keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir
dan tidak terorganisir (polisi melawan massa); dan (4) konflik antar
satuan nasional (perang saudara). Hasil dari sebuah konflik adalah
sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok
(in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan
hubungan antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada
individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan
sebagainya; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan
(5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa
pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik
menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita
dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan
menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3.
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
D. PROSES KONFLIK
Menurut Robbins (1996)
proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) oposisi atau
ketidakcocokan potensial; (2) kognisi dan personalisasi; (3) maksud; (4)
perilaku; dan (5) hasil. Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah
adanya kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik.
Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu
kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut
dikelompokkan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel
pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik,
selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam
menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa
menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi:
ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggotatujuan, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari
konflik. Pernahkah kita mengalami situasi ketika bertemu dengan orang
langsung tidak menyukainya? Apakah itu kumisnya, suaranya, pakaiannya
dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual
tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual
bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah
persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik
yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan
eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya
konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan,
yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan
kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan
untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang
berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau
terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam
penanganan suatu konflik ada lima, yaitu: (1) bersaing, tegas dan tidak
kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan seseorang
atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam
suatu episode konflik; (2) berkolaborasi, bila pihak-pihak yang
berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan
dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi
semua pihak; (3) mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang
berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau
menekan suatu konflik; (4) mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk
memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam
suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya;
dan (5) berkomromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak
dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi
tuntutannya masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan
reaksi yang dibuat an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik
yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas,
pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan
ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi
antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil
bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja
kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.oleh
pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terang an
untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan
ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau
salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak
yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional
dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau
disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.
E. POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Konflik dapat berpengaruh positif
atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik
hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana
konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar
konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu
besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus
diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu
rendah, maka konflik harus dibangkitkan (Riggio, 1990). Berbeda lagi
dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan
konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola
konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian
suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan
pencapaian tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan
konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang
digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan
konflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran
melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai
berikut: Pertama, dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering
menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau
dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak
yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa
kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada
perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya,
memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan
pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga
dapat diterima oleh kedua belah pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi
terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak efektif, yang
efektif dan yang paling efektif. Menurutnya, strategi yang dipandang
paling tidak efektif, misalnya ditempuh cara: (1) dengan paksaan.
Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan
paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa
menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya; (2) dengan
penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai
berlarut-larut; (3) dengan bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang
akan kebal dengan bujukan sehingga perselisihan akan semakin tajam; (4)
dengan koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan
konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang
pada gilirannya bisa menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’;
(5) dengan tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak
menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan
beberapa hal penting yang mejadi haknya, dan jika terjadi konflik mereka
merasa menjadi korban konflik.
Strategi yang dipandang
lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi: (1) koesistensi damai,
yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan
saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada
perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen; (2) dengan
mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu,
masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara
yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak. Sedangkan
strategi yang dipandang paling efektif, antara lain: (1) tujuan sekutu
besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah
tujuan yang lebih besar dan kompleks. Misalnya denga cara membangun
sebuah kesadaran nasional yang lebih mantap; (2) tawar-menawar
integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk
lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya
berkisar pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu,
kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu.
Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik
melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi
(mediation), dan
perwasitan (arbitration). Konflik bertentangan
dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus
di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga
yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya
memenuhi empat hal: (1) harus mampu mengambil keputusan secara otonom,
tanpa campur tangan dari badan-badan lain; (2) lembaga harus bersifat
monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian;
(3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang
berkonflik; dan (4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Tanpa
keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa kekuatan
sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak
kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan
maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk
pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan
penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian
konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang
berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan
untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang
ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak
yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.
Pola penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan menggunakan
strategi seperti berikut: (1) gunakan persaingan dalam penyelesaian
konflik, bila tindakan cepat dan tegas itu vital, mengenai isu penting,
dimana tindakan tidak populer perlu dilaksanakan; (2) gunakan kolaborasi
untuk menemukan pemecahan masalah integratif bila kedua perangkat
kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan; (3) gunakan
penghindaran bila ada isyu sepele, atau ada isu lebih penting yang
mendesak; bila kita melihat tidak adanya peluang bagi terpuaskannya
kepentingan anda; (4) gunakan akomodasi bila diketahui kita keliru dan
untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik didengar, untuk belajar,
dan untuk menunjukkan kewajaran; dan (5) gunakan kompromis bila tujuan
penting, tetapi tidak layak mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang
lebih tegas disertai kemungkinan gangguan.
1. Macam-macam Pola Pengelolaan Konflik
Menurut
penelitian Vliert dan Euwema (dalam Farida, 1996) penelitian-penelitian
mengenai cara-cara penyelesaian konflik menggunakan klasifikasi yang
berbeda. Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai klasifikasi yang
dianggap paling valid. Individu berhubungan dengan yang lain dalam tiga
cara; moving toward others (mendapatkan dukungan), moving againts other
(menyerang dan mendominasi), dan
moving away from other (menarik diri
dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam
Hall, 1985). Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat
kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan
tiga model pengelolaan konflik, sebagai berikut.
1. Deffering to status power
Individu
dengan status yang lebih tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan
memaksakan solusi konflik yang ditawarkan. Status sosial memegang
peranan dalam menentukan aktivitas-aktivitasyang akan dilakukan.
2. Applying regulations
Model
ini ditekankan oleh asumsi bahwa interaksi sosial diatur oleh hukum
universal. Peraturan diterapkan secara merata pada seluruh anggota.
Peraturan dibakukan untuk menggambarkan hukuman dan penghargaan yang
diberikan berdasarkan perilaku yang dilakukan, bukan berdasarkan orang
yang terlibat.
3. Integrating interest
Model ini menekankan pada
perhatian pihak yang terlibat, untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat
bagi mereka daripada tidak mendapatkan kesepakatan satupun. Disini
masing-masing pihak saling berbagi minat, prioritas, untuk menemukan
penyelesaian yang dapat mempertemukan minat mereka masing-masing. Pola
penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang-kalah pada
masing-masing pihak, maka ada empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu:
1. Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik)
Bentuk
pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari
konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa
kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau
menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut.
2. Bentuk menang-kalah (persaingan)
Bentuk
kedua ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dan pihak
lain kalah. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan
bahwa dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai
pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak
mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi
kalah.
3. Bentuk kalah-menang (mengakomodasi)
Agak berbeda dengan
bentuk kedua, bentuk ketiga yaitu individu kalah-pihak lain menang ini
berarti individu berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi
kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan
atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk
mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau
menciptakan perdamaian yang diinginkan.
4. Bentuk menang-menang (kolaborasi)
Bentuk
keempat ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi atau
bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan
penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat
semua pihak yang bertikai. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan
bahwa masing masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau
tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari
titik temu kedua kepentingan tersebut (Prijosaksono dan Sembel, 2002).
Berbeda dengan pendapat diatas, Hendricks (2001) mengemukaan lima gaya
pengelolaan konflik yang diorientasikan dalam organisasi maupun
perusahaan. Lima gaya yang dimaksud adalah:
1. Integrating (menyatukan, menggabungkan)
Individu
yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi. Disini ada
keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat
diterima semua kelompok. Cara ini mendorong berpikir kreatif serta
mengembangkan alternatif pemecahan masalah.
2. Obliging (saling membantu)
Disebut
juga dengan kerelaan membantu. Cara ini menempatkan nilai yang tinggi
untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan
diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada orang lain menyebabkan
seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh
pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya
sendiri.
3. Dominating (menguasai)
Tekanan gaya ini adalah pada
diri sendiri. Kewajiban bisa saja diabaikan demi kepentingan pribadi.
Gaya ini meremehkan kepentingan orang lain. Biasanya berorientasi pada
kekuasaan dan penyelesaiannya cenderung dengan menggunakan kekuasaan.
4. Avoiding (menghindar)
Individu
yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri
sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan,
termasuk di dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari
suatu isu.
5. Compromising (kompromi)
Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang.
Berbeda dengan yang dikemukakan Johnson & Johnson (1991) bahwa
strategi pengelolaan konflik ada karena dipelajari, biasanya sejak masa
kanak-kanak sehingga berfungsi secara otomatis dalam level bawah sadar
(preconscious). Tapi karena dipelajari, maka seseorangpun dapat mengubah
strateginya dengan mempelajari cara baru dan lebih efektif dalam
menangani konflik. Lebih lanjut Johnson & Johnson (1991) mengajukan
beberapa gaya atau strategi dasar pengelolaan konflik, yaitu:
1.
Withdrawing (Menarik Diri). Individu yang menggunakan strategi ini
percaya bahwa lebih mudah menarik diri (secara fisik dan psikologis)
dari konflik daripada menghadapinya. Mereka cenderung menarik diri untuk
menghindari konflik. Baik tujuan pribadi maupun hubungan dengan orang
lain dikorbankan. Mereka menjauh dari isu yang dapat menimbulkan konflik
serta dari orangorang yang terlibat konflik dengannya.
2. Forcing
(Memaksa). Individu berusaha memaksa lawannya menerima solusi konflik
yang ditawarkannya. Tujuan pribadinya dianggap sangat penting. Mereka
menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak peduli
akan kebutuhan dan minat orang lain, serta apakah orang lain itu
menerima solusi mereka atau tidak. Mereka menganggap konflik dapat
diselesaikan dengan satu pihak yang menang dan pihak yang lain kalah.
Mereka mencapai kemenangan dengan jalan menyerang, menghancurkan, dan
mengintimidasi orang lain.
3. Smoothing (Melunak). Individu yang
menggunakan strategi ini berpendapat bahwa mempertahankan hubungan
dengan orang lain jauh lebih penting dibandingkan dengan pencapaian
tujuan pribadi. Mereka ingin diterima dan dicintai. Mereka merasa bahwa
konflik harus dihindari demi keharmonisan dan bahwa orang tidak akan
dapat membicarakan konflik tanpa mengakibatkan rusaknya hubungan. Mereka
takut jika konflik berlanjut, maka orang lain akan kecewa dan ini
menyebabkan rusaknya hubungan. Mereka mengorbankan tujuan pribadinya
demi mempertahankan kelangsungan hubungan.
4. Compromising
(Kompromi). Strategi ini digunakan individu yang menaruh perhatian baik
terhadap pribadinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Mereka
berusaha berkompromi, mengorbankan tujuannya sendiri dan mempengaruhi
pihak lain untuk mengorbankan sebagian tujuannya juga. Mereka mencari
solusi konflik agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan,
solusi pertengahan antara dua posisi yang ekstrim.
5. Confronting
(Konfrontasi). Individu dengan tipe ini menaruh perhatian sangat tinggi
terhadap tujuan pribadi maupun kelangsungan hubungan dengan orang lain.
Mereka memandang konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan
solusi terhadap konflik haruslah mencapai tujuan pribadinya sendiri
maupun tujuan orang lain. Konflik dipandang dapat meningkatkan hubungan
dengan menurunkan ketegangan antara dua pihak yang terlibat. Dengan
solusi yang memuaskan kedua belah pihak, mereka mencoba mempertahankan
kelangsungan hubungan dapat memuaskan baik mereka sendiri maupun orang
lain. Klasifikasi-klasifikasi yang diajukan beberapa ahli di atas, jika
diperhatikan tidak benar-benar berbeda. Perbedaan yang ada hanya pada
istilah yang dipakai namun memiliki pengertian yang hampir sama.
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Penyelesaian Konflik Johnson &
Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan bilamana
seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan
bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (1)
tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya.
Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa
terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan
kepentingan individu lain; (2) seberapa penting hubungan atau interaksi
itu untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat
keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain
dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang
efektif selama beberapa waktu. Faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut.
1. Kepribadian Individu Yang Terlibat Konflik
Stenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya
pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari
karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka
menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung
menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan
skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan
gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak.
Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor
tinggi pada need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung
seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk)
dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk
memilih gayagaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak.
Sebaliknya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy (kebutuhan
untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan untuk
membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak
satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif.
Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik
kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik
adalah kecenderungan agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan
menguasai, orientasi kooperatif dan kompetitif, kemampuan untuk
berempati, dan kemampuan untuk menemukan pola penyelesaian konflik.
2. Situasional
Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur
kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila
satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik,
maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi
oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada
pengalaman sebelumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap
pihak lain tersebut. Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah
norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang
mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan
campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk dengan salah
satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik.
Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang
berselisih dapat melunakkan konflik karena pihak ketiga dapat berperan
sebagai mediator.
3. Interaksi
Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam mencari
pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas.
Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah
interaksi dan saling mempengaruhinya determinan situasional dan
disposisional.
4. Isu Konflik
Tipe isu tertentu kurang mendukung
resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain.
Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk memandang
konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan
kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu
yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipetipe isu yang
cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang
tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu
permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang.
Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif
daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif,
konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas.
Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang
berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika
konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat
substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan. Robbins
(1996) mengungkapkan ada beberapa teknik yang bisa dijadikan acuan dalam
pemecahan konflik dan perangsangan konflik.
Sumber : http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_6_KONFLIK_SOSIAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar